Ludruk sejak lama tumbuh, berkembang dan dikenal oleh masyarakat di Jawa Timur, terutama di daerah Surabaya, Jombang, Malang dan sekitarnya. Sebagai kesenian asal Jawa Timur, keberadaan ludruk ditinggalkan penggemarnya karena masuknya hiburan modern dan kurangnya upaya pelestarian dari Pemerintah terkait. Dulu kesenian ludruk sangat melekat di hati masyarakat. Sekarang jumlah penggemarnya menurun drastis. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penonton ludruk pada saat pementasan umumnya sepi pengunjung.
Sejarah Awal Mula Ludruk
Dalam data Statistik Van Grisse Van 1822 dikatakan bahwa ludruk adalah tari tarian yang dilengkapi dengan cerita lucu yang diperankan oleh pelawak dan travesty atau lelaki yang merias diri sebagai wanita. Ludurk mempunyai unsur tarian, cerita lucu, pelawak dan pemain yang terdiri dari pria semua, meskipun yang diperankan ada peran wanitanya. Seiring berkembangnya ludruk, masuk juga pemain wanita. Dalam kamus Javanansch Nederduitssch Woordenboekv karya Gencke dan T Roorda (1847), ludruk artinya Grappermaker (badutan).
Mengenai asal usul kata ludruk terdapat beberapa pendapat. Cak Markaban, tokoh Ludruk Triprasetya RRI Surabaya mengatakan bahwa ludruk berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Jadi yang membawakan ludrukan itu, kepalanya menggeleng-geleng (gela-gelo) dan kakinya gedrak-gedruk (menghentak lantai) seperti penari Ngremo. Sedangkan menurut Cak Kibat, tokoh Ludruk Besutan bahwa ludruk itu berasal dari kata molo-molo lan gedrak-gedruk. Artinya seorang peludruk itu mulutnya bicara dengan kidungan dan kakinya menghentak lantai gedrak - gedruk.
Menurut Dukut Imam Widodo pada bukunya Soerabaia Tempo Doeloe, ludruk berasal dari bahasa Belanda. Pada masa itu banyak anak-anak Belanda muda yang senang menonton. Mereka berkata kepada teman-temanya,“Mari kita leuk en druk.” Artinya yang penting enjoy, happy sambil nonton pertunjukan yang lucunya luar biasa ini, begitu kira-kira maksudnya. Kalau demikian halnya, kesenian itu sudah ada sebelumnya, tetapi belum punya nama “baku”. Lalu lahirlah ucapan bahasa Belanda “Leuk en Druk” itu. Lama kelamaan, leuk en druk diadopsi menjadi bahasa sini ludruk.
Sejarah perkembangan ludruk sebenarnya masih belum dapat dipastikan karena ada beberapa pendapat. Tahun 1890 Gangsar, yang berasal dari desa Pandan, kabupaten Jombang, yang pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen (berkeliling dari rumah ke rumah) dan tarian. Bentuk inilah yang menjadi cikal bakal kesenian ludruk.
Periode Ludruk Ngamen atau Lerok
Lerok merupakan bentuk permulaan kesenian ludruk yang berlangsung pada tahun1907 – 1915 di daerah Jombang, Jawa Timur. Pelopornya adalah Pak Santik yang berasal dari desa Ceweng, kecamatan Goda, kabupaten Jombang dan temannya, Pak Amir yang berasal dari desa Lendi.
Istilah Lerok sebenarnya berasal dari kata lorek yang artinya penuh coretan. Dimana wajah pemain lerok penuh dengan coretan. Lerok disebut juga kledek lanang yaitu suatu seni pertunjukan yang mengutamakan nyanyi-nyanyian dalam bentuk kidungan dan pantun (parikan) yang mempunyai tema sindiran.
Lerok yang dipelopori oleh Pak Santik dan Pak Amir memulai pekerjaannya ngamen dengan menggunakan peralatan kendang, berkeliling dari desa ke desa. Kemudian Pak Santik mengajak Pak Pono untuk mengenakan busana wanita dengan sebutan wedokan, agar pertunjukan menarik dan lucu. Secara teoritis dimulailah tradisi travesty pada grup ngamen tersebut. Jumlah pemain lerok ini beranggota tiga orang.
Periode Ludruk Besut
Ludruk besut berkembang pada tahun 1915 – 1920an dengan jumlah pemain telah menjadi empat, yaitu Pak Santik, Pak Amir, Pak Pono dan Marpuah. Pelaku utama selalu mengenakan kain panjang (bebed putih) yang menjadi lambang kesucian dan bertugas menyampaikan maksud (bahasa Jawa: mbekta maksud atau pembawa maksud). Pelaku utamanya disebut besut. Inilah yang merubah sebutan lerok menjadi besut.
Pementasan ludruk besutan diawali dengan upacara pembukan berupa saji-sajian atau persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan kepada empat penjuru mata angin. Kemudian baru pertunjukan yang menampilkan sindiran, lawakan, kidungan dan pantun-pantun yang disusun dalam suatu kerangkan cerita yag telah ditentukan dan tetap. Di tahun 20-an, istilah Ludruk Besutan yang terkenal ada tiga lakon judul cerita, yaitu Kakang Besut, Paman Jamino, dan Bojoe Besut, Asmunah (ada yang menyebutnya Asmunah atau Rusmini).
Periode Ludruk Lerok Besut
Periode ini berlangsung tahun 1920 – 1930 dengan masih mempertahankan model besut. Setelah upacara persembahan, dilanjutkan dengan tarian yang bertujuan mengahturkan perasaan kepada Tuhan. Dimana penarinya digambarkan sebagai seorang satria dengan gerakan yang bermacam macam sehingga disebut tari reno-reno. Penarinya menggunakan sampur dipundaknya, maka disebutlah penari ngremo (tembang kriyo atau kata kerja).
Seiring perkembangan kesenian lerok di berbagai daerah, maka munculah versi tari remo Jombangan (gaya Jombang) dan tari remo Suroboyoan (gaya Surabaya). Pada masa itu penari remo telah memiliki ciri khas tersendiri pada tata busananya yaitu mengenakan topi hitam, baju putih (kadang kadang dengan dasi hitam), kaki kanan mengenakan gongseng (pengatur irama gending) dan pada telinga kirinya dipasang anting-anting.
Gerakan tariannya dengan menggerakan kepala (dalam bahasa Jawa disebut gela gelo) dan gerakan kaki yang dinamis dihentak-hentakkan (dalam bahasa Jawa disebut gedrag-gedrug). Inti dari tarian ini ialah sirah gela gelo, sikil gedrag gedrug atau kepala digerakkan, kaki dihentakkan, maka lahirlah istilah ludruk.
Pementasan ludruk besutan terdiri dari tandhakan (tarian), dagelan (lawakan) dan besutan. Dalam pementasannya belum menampilkan cerita secara utuh, melainkan dialog yang dikembangkan secara spontan. Pada tahun 1922 – 1930 dalam pementasan ludruk mulai dimasukkan cerita didalamnya. Ludruk yang memasukkan unsur cerita didalamnya disebut ludruk sandiwara.
Periode Lerok dan Ludruk.
Periode ini berlangsung tahun 1930 – 1945 dengan bermunculan ludruk di berbagai daerah di Jawa Timur. Nama lerok dan ludruk tetap berdampingan sampai tahun 1955, selanjutnya masyarakat menggunakan nama ludurk. Tahun 1933 Cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO). Ludruk ini terkenal dengan jula julinya yang menentang pemerintahan Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang, ludruk berfungsi sebagai sarana perjuangan. Pemain ludruk memanfaatkan pertunjukan sebagai alat penerangan kepada rakyat untuk mempersiapkan kemerdekaan. Bahkan pemerintah Jepang menangkap Cak Durasim ke dalam penjara hingga meninggal, karena tembang jula julinya yang terkenal:
Bekupon omahe doro, melok Nippon soyo soro
(Bekupon rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara)
Periode setelah Proklamasi
Periode ini berlangsung tahun 1945- 1965 dimana mulai muncul seniman urban (dari desa pindah ke kota). Pelawak Astari Wibowo dan Samjudin mendirikan ludruk Marhaen pada tanggal 19 Juni 1949. Setelah berdirinya ludruk Marhaen di Surabaya, muncul perkumpulan ludruk lain, seperti ludruk Tresna Tunggal, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Panca Bakti, Ludruk Irama Tunggal, ludruk Masa Rukun, ludruk Marikaton dan ludruk Massa.
Tahun 1958 RRI Surabaya secara teknik menggunakan peran wanita yang dibawakan oleh wanita sungguhan karena dipentingkan suaranya saja. Sedangkan dalam pengembangannya, pemeran wanita juga tampil di panggung dan RRI Surabaya mendapat banyak ejekan dan cemooh dari para pendukung ludruk. Lama kelamaan cemooh, ejekan dan kritikan dari pendukung ludruk mereda.
Ludruk pada masa itu merupakan alat bagi PKI untuk menggalang massa. PKI memanfaatkan ludruk untuk menanamkan pengaruhnya di masyarakat. Pada tahun 1963 tercatat ada 549 perkumpulan ludruk di Jawa Timur dan banyak diantaranya yang berhaluan kiri.
Periode Orde Baru
Periode ini dimulai tahun 1965 sampai sekarang, dimana sempat terjadi kevakuman pada tahun1965 – 1968. Kevakuman tersebut disebabkan karena ludruk menjadi organisasi terlarang Lekra. Perkumpulan ludruk yang berhaluan kiri bubar, sedangkan perkumpulan ludruk yang tidak terlibat dengan PKI tidak berani melakukan pementasan.
Tahun 1967 Pemerintah Orde Baru berusaha membangkitkan kembali perkumpulan ludruk.
Perkumpulan ludruk yang telah diseleksi dari pengaruh Lekra dibina oleh KODAM BRAWIJAYA. Tahun 1968- 1970 terjadi peleburan ludruk yang dikoordinasi oleh DAM Brawijaya. Perkumpulan ludruk di berbagai daerah dibina oleh ABRI hingga tahun 1975. Pembinaan tersebut mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat Jawa Timur dan Indonesia bahwa ludruk adalah teater tradisional khas Jawa Timur yang harus dilestarikan kehadirannya.
Perkembangan kesenian ludruk tidak hanya terbatas di Jawa Timur, melainkan sampai di Jepara, Jawa Tengah. Kesenian ludruk dibawa oleh para pekerja PTPN IX Balong yang berasal dari Jawa Timur dan mulai melakukan pementasan sejak tahun 1969. Bahkan di tahun 1980an – 1990an Ludruk PTPN rutin mengadakan pementasan di halaman RRI Semarang. Setelah tahun 1990an, keberadaan ludruk PTPN mulai tenggelam. Untuk itu para pemain ludruk PTPN mencoba menyelamatkan keberadaan ludruk di Jepara dengan mendirikan perkumpulan ludruk Kembang Budoyo.
Pada tahun 1980 – 1990 tercatat 104 perkumpulan ludruk di Surabaya, diantaranya ludruk RRI Surabaya, ludruk Susana, ludruk Sidik CS, ludruk Mandala dan ludruk Bakotas Surabaya. Seniman ludruk yang dikenal masyarakat seperti Cak Kartolo, Cak Markeso, Cak Baseman Pak Kadham (yang pada pada tahun 1960-an menjadi favorit Presiden Soekarno) dan Marlena. Sayangnya tidak ada catatan berapa jumlah perkumpulan ludruk saat ini.
Sebenarnya penulis juga merasa bingung dengan literature sejarah ludruk, karena istilah ludruk sudah ada di kamus bahasa Belanda terbitan tahun 1800an, tetapi munculnya istilah ludruk juga disebutkan baru muncul tahun 1907. Terlepas dari kapan persisnya muncul istilah ludruk, yang paling penting ialah bagaimana nasib kesenian ludruk di masa yang akan datang. Baca bagaimana pementasan kesenian ludruk dilaksanakan ini pada tulisan saya berikutnya.
0 comments